The best traditional place ever

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
Posted by andri fredi - - 0 comments

Bedhaya Sumreg Dance is one of the “dance inheritance” property of the Jogjakarta Keraton Palace. Classical dance is not merely a composition of gestures that are created into a single entity serving the whole spectacle. But behind the dance classic, stored on a story or a very high philosophical meaning is conveyed as a message for the human life. Bedhaya Sumreg has meaning as an angel who danced to the accompaniment of gending Ageng Ladrang and Ketawang. Bedhaya Sumreg first appeared in the Sri Susuhunan Pakubowono I. After breaking into Kasuhunan Mataram Sultanate of Surakarta and Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono I compile again Bedhaya Sumreg along with the establishment of Sultanate of Yogyakarta. When Sri Sultan Hamengkubuwono I run on the beach Parangkusuma Labuh ceremony, he was greeted with Bedhaya Sumreg who danced by the dancers from the South Coast.This Dance show about the attitude and the way taken by the leader in addressing shared problems of his era. Bedhaya messages conveyed by this is that human life on earth back to mutual respect and respect for all forms of differences with relationships based on kinship, cultural, and religious.

In Bahasa Indonesia:
Berbagai tarian kerajaan di Jawa memiliki nilai historis yang terletak pada posisi tangan, yang mendapat pengaruh dari tari India. Pengaruh meluas sampai di Bali yang ditambah dengan gerak mata. Tarian yang terkenal ciptaaan para raja, khususnya di Jawa merupakan bentuk teater tari seperti wayang wong dan bedhaya ketawang. Dua tarian ini merupakan pusaka raja Jawa. Bedhaya ketawang adalah tarian yang diciptakan oleh Raja Mataram Ketiga, Sultan Agung Hanyokrokusuma (1613-1646) dengan berlatar belakang mitos percintaan antara Raja Mataram Pertama, Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul atau penguasa laut selatan yang ditampilkan oleh sembilan penari wanita. Bedhaya Sumreg merupakan salah satu tarian pusaka yang semula muncul pada masa pemerintahan Sri Susuhanan Paku Buwono I. Bedhaya Sumreg memiliki arti sebagai bidadari yang menari dengan iringan gending ageng, ladrang, dan ketawang. Tarian ini pernah dipentaskan dalam perayaan ke 250 tahun keraton dan 250 tahun kota Jogjakarta

Bedhaya Sumreg menjadi tarian yang sangat sakral dan juga sebagai tarian persembahan bagi para tamu yang datang ke kerajaan pada masa pemerintahan Sultan HB I-IV. Dan juga dipentaskan saat upacara naik tahta dan upacara pentahbisn raja hingga masa pemerintahan HB IV. Setelah Mataram pecah menjadi Kasuhunan dan Kasultanan Yogyakarta akibat dari Perjanjian Giyanti, tarian ini dibuat seiring dengan Sri Sultan HB I mendirikan Kasultanan Yogyakarta. Dikisahkan bahwa saat Sultan HB I melabuh di Pantai Parangkusumo, dia disambut oleh para penari dari pantai selatan. Dari situlah muncul gagasan untuk mengembangkan tarian di kerajaan.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan HB II bedhaya pusaka ini mulai dibangun kembali dan diteruskan oleh Sri Sultan HB III yang akhirnya dipentaskan dalam peristiwa jumenengan dalem Sri Sultan HB IV. Melalui berbagai tulisan tangan yang diperoleh dari pencatatan gerek tari hingga pemerintahan HB IV. Hingga kini bedhaya yang berati lampah, bedayan yang berasal dari kerjaan Mataram itu akhirnya diwarisi oleh Kasultanan Yogyakarta.

Sesuai dengan namanya Bedhaya Sumreg ini membawakan cerita yang penuh dengan gejolak dan intrik seiring dengan masa-masa pemerintahanya. Asal-usul kolonialisme perang Jawa yang sebenarnya dan secara khusus mengenai sikap dan cara yang ditempuh oleh para pemimpin dan negerinya di masa itu untuk menghadai masalah zamanya. Inspirasi perang Jawa itu berpengaruh hingga kini dalam berbagai bentuk kolonialisme yang lebih canggih seperti ekonomi, politik, dan budaya. Terlebih sering mendapatkan legitimasi international yang tak ubahnya seperti perang suksesi dinasti Mataram untuk merebut tahta dan kursi.